Daftar Menu

  • Home
  • Mutiara Hikmah
  • Video
  • My Profil
    • My Facebook
    • Jumat, 20 Desember 2013

      Wong Jawa ilang Jawane, apa artinya?

      Bismillahirrohmanirrohim,
      Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh,
      Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh.
      Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
      “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Al Israa’ 36

      Barangkali bagi kalangan awam, ungkapan "wong jawa ilang jawane" pasti terkesan mengherankan. Sebab, bagaimana tidak aneh? Mari perhatikan, kalimat tersebut bila di bahasa indonesia_kan menjadi orang jawa yang kehilangan kejawa_annya. Sampai disini, masih membingungkan bukan? Ya, itu benar. Karena masyarakat jawa memang secara naluri memiliki konsep bahasa tersendiri, yaitu bahasa simbolis[1].

      Wong jawa ilang jawane, pada hakikatnya bukan berarti orang jawa yang kehilangan kejawaannya. Sebab bila direnungkan lebih mendalam, akan timbul pertanyaan seperti misalnya: hilang kejawaannya itu bagaimana? Kejawaan yang seperti apa?
      Maka, istilah ilang jawane memiliki dua macam definisi.
      Pertama, Orang[2] yang lahir di jawa, besar di jawa. Tapi tidak berbudaya jawa[3], jarang memakai bahasa jawa dan kurang paham atau tidak mengerti bahasa jawa krama inggil . Oleh karenanya, dapat dikatakan sebagai orang yang kehilangan kejawaannya dalam pengertian (sebatas) budaya atau kultur. Kedua, Orang yang jauh dari budaya ketimuran[4].
      Nah, daripada dua definisi atas, mana yang lebih tepat adalah definisi kedua. Karena secara tersirat, istilah wong jawa ilang jawane memang ditujukan untuk orang yang tidak mengerti budaya ketimuran. Namun, oleh karena pergeseran zaman, dengan menghilangnya pengaruh kaum sesepuh feodal[5]  keratonisme, ungkapan-ungkapan ala kasepuhan[6] menjadi kehilangan makna sebenarnya. Sehingga, oleh karena sebab lenyapnya warna hakiki daripada sesuatu, maka sebagai dampaknya adalah hanyutnya pendidikan nilai-nilai moral yang tertelan derasnya arus westernisasi[7].

      ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
      catatan kaki:
      [1] Masyarakat jawa seringkali menggunakan konsep bahasa yang terbalik, atau penghalusan penyampaian sesuatu masalah. Fungsinya, tidak lain hanyalah agar orang lain atau lawan bicara tidak tersinggung, tanpa menghilangkan arti dibaliknya.
      Seperti misalnya:
      Ada seseorang yang tengah bertamu di suatu tempat. Maka si tuan rumah bukan berkata "Pulang sana, sudah malam!" melainkan "Wah, sudah malam ya? Bagaimana bila menginap disini saja?" Kalimat tersebut secara tersirat adalah bentuk pengusiran dengan diperhalus. Sedangkan yang merepotkan adalah bila yang diperlakukan seperti tersebut di atas bukan orang jawa, maka bukan tidak mungkin malah meng_iya_kan untuk menginap.

      [2] Konsep wong jawa ilang jawane dalam koridor budaya/ sikap/ perilaku adalah khusus ditujukan bagi masyarakat jawa itu sendiri, yang lahir di jawa, besar di jawa dan bukan merupakan etika skala global. Sehingga bilamana datang ke jawa orang asing yang tidak njawani, hal tersebut kiranya dianggap wajar. Sebab sudah barang tentu, oleh karena tidak mengenal nilai-nilai yang berkembang di jawa maka tidak dapat berperilaku layaknya aturan yang berlaku, melainkan bersikap sesuai dengan kultur budaya tempat asalnya.

      [3] Dalam simbol manusia beradab secara kultur jawa, pada kesehariannya memakai tiga bahasa sekaligus sebagai simbol penghargaan atau penghormatan secara status sosial, secara status usia atau status secara kasta. Penjelasannya sebagaimana di bawah ini. yaitu:
      • Ngoko, digunakan untuk seseorang yang sebaya atau tingkatnya lebih rendah (seperti majikan terhadap bawahan),
      • Krama, dapat digunakan untuk tingkat sebaya atau lebih tinggi atau lebih rendah.
      • Krama Inggil, adalah jenis bahasa yang digunakan untuk tingkat yang lebih tinggi (seperti bawahan terhadap majikan).
      Namun, setelah kehidupan jawa masuk ke lingkup modern, berawal dari tiga bahasa menjadi lima bahasa. sebagaimana dibawah:
      • Ngoko Kasar. Bisa diartikan sebagai bahasa jawa versi bebas dan tidak terikat status sosial. Maka konsep etika dan estetika dalam penyampaiannya pun lenyap. Penuturnya, biasanya didominasi oleh orang yang cenderung kurang berpendidikan. contoh: turu yang berarti tidur menjadi micek.
      • Ngoko, (seperti penjelasan di atas)
      • Ngoko Alus. Mirip ngoko biasa, hanya saja diperhalus penyampaiannya. contoh: mangan/ madhang yang berarti makan, menjadi ma' em.
      • Krama semi Ngoko, yakni dituturkan oleh orang yang baru belajar bahasa krama atau tidak begitu bisa menggunakan bahasa krama.
      • Krama Inggil, seperti penjelasan sebelumnya).
      [4] Budaya ketimuran adalah Adab kebiasaan untuk bersopan santun. Dalam bahasa jawa, ada istilah seperti unggah-ungguh/ tata krama/ suba sita/ solah bawa adalah mengacu ke satu sistem, yaitu budaya ketimuran. Hal ini tidak khusus, melainkan umum. Jadi termuat dalam keseluruhan cara bersikap, berpakaian, berbicara, berpikir, mengemukakan pendapat (berbicara) dan bergerak.

      [5] Kaum feodal jawa adalah masyarakat yang menduduki status raja, kaum bangsawan (terdiri dari raja, keluarganya, kerabatnya dan keturunannya) dan kaum priyayi (pegawai kerajaan non keluarga bangsawan) yang dijadikan panutan oleh wong cilik atau masyarakat biasa. Nah, sedangkan karya-karya sastra yang berfokus pada nilai-nilai moral, suluk, kidung, tembang macapat dan pengetahuan lainnya yang disampaikan oleh bangsa jawa pada zaman dahulu, seluruhnya berasal dari kaum feodal atau masyarakat kelas bangsawan. Seperti misalnya: tembang lir-ilir oleh Sunan Kalijaga, suluk sukma lelana oleh R. Ng. Ranggawarsita, dan lain sebagainya.
      Dengan kata lain, karya sastra dan pendidikan moral nilai nilai luhur penyampai_nya memang diawali oleh kaum feodal jawa yang berkembang pada masyarakat luas. Karena pada zaman dahulu, wong cilik atau rakyat jelata umumnya tidak menempuh pendidikan bangku sekolah. Kecuali bila seseorang itu terpandang sebagai keluarga kaya raya.

      [6] Kasepuhan atau ilmu kasepuhan, adalah salah satu jenis ilmu filsafat oleh masyarakat jawa, yang bermuara pada pendidikan secara kejiwaan dan pendewasaan diri.

      [7] Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal yang mempengaruhi kehidupan suatu bangsa maupun negara yang bertujuan untuk mewarnai kehidupan sehari-hari bangsa-bangsa dengan gaya barat (eropa).

      Maafkan saya bila ada khilaf berupa kesalahan apapun. Kebaikan itu datangnya dari Allah, sedangkan kesalahan itu datang dari saya.

      insyaAllah, demikian.
      Wallahu a'lam.

      1 komentar: