Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan),
bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara
orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina,
lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan
oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya
adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji,
yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam
memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif
untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk
menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan,
dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya.”[1]
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq
(perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat
berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا
تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran
yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.”
[Al-Baqarah : 229]
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa
Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup
menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan
dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk
menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya
kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya
rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu,
setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami,
maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon
pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.
a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak
sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan
pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan
keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah
kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta
saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.
Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau
sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua
suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga
yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam
hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang,
bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah
‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab
maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari
keduanya melainkan derajat taqwanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat :
13]
Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk
menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi
yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan
mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada
Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ.
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.”
[2]
Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita
karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang
shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar
selamat dunia dan akhirat.
Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik,
atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi
kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para
ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)...” [An-Nuur : 26]
b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang
shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“...Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat
(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena
Allah telah menjaga (me-reka)...” [An-Nisaa' : 34]
Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ
إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا
يَكْرَهُ.
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia
melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi
atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ
الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ
مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ،
وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.
“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat
tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan
empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang
buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]
Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :
1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
3. Menjaga shalat yang lima waktu,
4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [7]
6. Berakhlak mulia,
7. Selalu menjaga lisannya,
8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.
Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan
untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang
agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah
hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama
manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan
subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal
shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah
(sedekah).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
...وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا
وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.
“... Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah
sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu
bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan
syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang
suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu
pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia
akan memperoleh pahala.” [8]
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang
shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana
firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ
مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis
kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta
memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang
bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh
anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas,
yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“...Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga
Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan
anak.[9]
Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk
memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang
telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar
diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak,
sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga
pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh
bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak
kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan
pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung
jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan
yang benar, sesuai dengan agama Islam.
Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan
keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan
yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan
mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan
eksistensi ummat Islam
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa
Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]