Daftar Menu

  • Home
  • Mutiara Hikmah
  • Video
  • My Profil
    • My Facebook
    • Minggu, 06 April 2014

      ''SEBUAH KISAH RENUNGAN KETAATAN SEORANG ISTRI PADA SUAMI KETIMBANG IBUNYA.”


      Di zaman Rasulullah dulu, ada seorang sahabat yang ingin berperang, dan berpesan kepada istrinya untuk tak meninggalkan rumah selama dia tak ada.
      Istri sahabat ini berjanji patuh. Namun, nasib memang susah diduga.
      Berselang hari, datang seorang utusan dari keluarganya, dan mengabarkan tentang ibunya yang sakit keras, dan mengharap kedatangan si istri.
      Si istri ini, dengan meminta maaf, berkata tak dapat hadir. Suaminya tak ada di rumah, dan dia telah berjanji untuk patuh pada pesan suami, tak akan meninggalkan rumah. Si utusan paham.

      Sehari kemudian, utusan itu datang lagi, mengabarkan si ibu sakitnya kian menjadi. Si istri tetap kukuh, dan tak ingin ingkar janji.
      Keesokan lagi, si utusan datang, dengan wajah yang pucat. Dia mengabarkan, si ibu telah berpulang, dan sampai akhir hidupnya, dia tak melihat wajah anaknya.
      Si istri menangis, tapi dia tak berani menghadiri pemakaman itu. Dia harus patuh pada suaminya.

      Lama setelah peristiwa itu, bertanyalah sahabat kepada Rasulullah atas peristiwa itu. Mereka sebagian "mencela" kepatutan sang istri pada suami. Tapi apa kata Rasulullah? "Karena kepatuhan istrinya itulah, ibunya kini telah berada di syurga." Sungguh kisah yang luar biasa.Subhanallah !!

      Dari cerita ini..maka ulama sepakat mengatakan. :

      "Jika seorang anak surga dibawah telapak kaki ibu..namun ketika telah bersuami..maka surga seorang istri..tergantung ridho suaminya.."

      Jadi ibu, patuh pada suami memang wajib hukumnya. Namun, kepatuhan itu bersyarat. Syarat itu tentu tidak bertentangan dengan agama kita. Kedua, kepatuhan itu juga wajib untuk suami yang seagama dengan kita. Dan ketiga, kepatuhan itu wajib sepanjang suami berada di jalan yang benar.

      Menyangkut cerita ibu, memang agak dilematis. Suami keras, ibu juga. Patuh pada suami wajib, pada ibu apalagi. Namun, jika tidak bisa didamaikan, jd ibu dapat membandingkan tingkat kesalehan ibu dan suami. Jika suami selama ini memang mampu menjadi imam dalam keluarga, dan "kekerasan" dia pada mertua adalah sikap yang wajar dan bukan merupakan kedurhakaan, ibu dapat mematuhinya. Namun jika suami ibu belum mampu menjadi imam di dalam keluarga, tidak mencukupi kewajibannya sebagai suami dan ayah bagi anak ibu, perintahnya tentu dapat ibu nilai sesuai dengan nurani atau hanya merupakan luapan emosi atau dendam karena dulu tak mendapat restu.

      Ibu juga dapat melakukan hal yang sama pada ibu Anda. Nilailah ketaatannya kepada Allah. Nilailah apakah "perselisihan" mereka hanya urusan-urusan kecil atau menyangkut masalah prinsip. Ibu dapat melihat mana yang lebih dapat ibu ajak bicara, suami atau ibu Anda. Mana yang dapat ibu jadikan teladan. Dan ibu harus jujur, jangan karena dia melahirkan Anda, maka Anda berpihak padanya, atau karena dia ayah anak-anak ibu pun membelanya. Kejujuran penilaian ibu akan membuat sikap ibu punya nilai di mata Allah.

      Selebihnya marilah berdoa pada Allah. Ajak suami berdoa agar Allah membuka pintu hari ibu Anda dan menerima dapat kehadirannya. Ajak ibu Anda berdoa agar percaya bahwa suami Anda dapat membuatnya bangga.

      Tujuan Menikah



      1. Melaksanakan tuntunan para Rasul
      Menikah adalah ajaran para Nabi dan Rasul. Hal ini menunjukkan, pernikahan bukan semata-mata urusan kemanusiaan semata, namun ada sisi Ketuhanan yang sangat kuat. Oleh karena itulah menikah dicontohkan oleh para Rasul dan menjadi bagian dari ajaran mereka, untuk dicontoh oleh umat manusia.
      “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar Ra’du: 38).
      Ayat di atas menjelaskan bahwa para Rasul itu menikah dan memiliki keturunan. Rasulullah Saw bersabda, “Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

      2. Menguatkan Ibadah
      Menikah adalah bagian utuh dari ibadah, bahkan disebut sebagai separuh agama. Tidak main-main, menikah bukan sekadar proposal pribadi untuk “kepatutan” dan “kepantasan” hidup bermasyarakat. Bahkan menikah menjadi sarana menggenapi sisi keagamaan seseorang, agar semakin kuat ibadahnya.
      Nabi Saw bersabda, “Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).

      3. Menjaga kebersihan dan kebaikan diri
      Semua manusia memiliki insting dan kecenderungan kepada pasangan jenisnya yang menuntut disalurkan secara benar. Apabila tidak disalurkan secara benar, yang muncul adalah penyimpangan dan kehinaan. Banyaknya pergaulan bebas, fenomena aborsi di kalangan mahasiswa dan pelajar, kehamilan di luar pernikahan, perselingkuhan, dan lain sebagainya, menjadi bukti bahwa kecenderungan syahwat ini sangat alami sifatnya. Untuk itu harus disalurkan secara benar dan bermartabat, dengan pernikahan.
      Rasulullah Saw bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya” (Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, dan Baihaqi).
      Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari dua keburukan maka ia akan masuk surga: sesuatu di antara dua bibir (lisan) dan sesuatu di antara dua kaki (kemaluan)” (HR. Tirmidzi dan Al Hakim. Albani mentashihkan dalam As Sahihah).

      4. Mendapatkan ketenangan jiwa
      Perasaan tenang, tenteram, nyaman atau disebut sebagai sakinah, muncul setelah menikah. Tuhan memberikan perasaan tersebut kepada laki-laki dan perempuan yang melaksanakan pernikahan dengan proses yang baik dan benar. Sekadar penyaluran hasrat biologis tanpa menikah, tidak akan bisa memberikan perasaan ketenangan dalam jiwa manusia.
      “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar Rum: 21).

      5. Mendapatkan keturunan
      Tujuan mulia dari pernikahan adalah mendapatkan keturunan. Semua orang memiliki kecenderungan dan perasaan senang dengan anak. Bahkan Nabi menuntutkan agar menikahi perempuan yang penuh kasih sayang serta bisa melahirkan banyak keturunan. Dengan memiliki anak keturunan, akan memberikan jalan bagi kelanjutan generasi kemanusiaan di muka bumi. Jenis kemanusiaan akan terjaga dan tidak punah, yang akan melaksanakan misi kemanusiaan dalam kehidupan.
      “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik” (QS. An-Nahl: 72).

      6. Investasi akhirat
      Anak adalah investasi akhirat, bukan semata-mata kesenangan dunia. Dengan memiliki anak yang shalih dan shalihah, akan memberikan kesempatan kepada kedua orang tua untuk mendapatkan surga di akhirat kelak.
      Rasulullah Saw bersabda, “Di hari kiamat nanti orang-orang disuruh masuk ke dalam surga, namun mereka berkata: wahai Tuhan kami, kami akan masuk setelah ayah dan ibu kami masuk lebih dahulu. Kemudian ayah dan ibu mereka datang. Maka Allah berfirman: Kenapa mereka masih belum masuk ke dalam surga, masuklah kamu semua ke dalam surga. Mereka menjawab: wahai Tuhan kami, bagaimana nasib ayah dan ibu kami? Kemudian Allah menjawab: masuklah kamu dan orang tuamu ke dalam surga” (HR. Imam Ahmad dalam musnadnya).

      7. Menyalurkan fitrah
      Di antara fitrah manusia adalah berpasangan, bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjadi pasangan agar saling melengkapi, saling mengisi, dan saling berbagi. Kesendirian merupakan persoalan yang membuat ketidakseimbangan dalam kehidupan. Semua orang ingin berbagi, ingin mendapatkan kasih sayang dan menyalurkan kasih sayang kepada pasangannya.
      Manusia juga memiliki fitrah kebapakan serta keibuan. Laki-laki perlu menyalurkan fitrah kebapakan, perempuan perlu menyalurkan fitrah keibuan dengan jalan yang benar, yaitu menikah dan memiliki keturunan. Menikah adalah jalan yang terhormat dan tepat untuk menyalurkan berbagai fitrah kemanusiaan tersebut.

      8. Membentuk peradaban
      Menikah menyebabkan munculnya keteraturan hidup dalam masyarakat. Muncullah keluarga sebagai basis pendidikan dan penanaman nilai-nilai kebaikan. Lahirlah keluarga-keluarga sebagai pondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan menikah, terbentuklah tatanan kehidupan kemasyarakatan yang ideal. Semua orang akan terikat dengan keluarga, dan akan kembali kepada keluarga.
      Perhatikanlah munculnya anak-anak jalanan yang tidak memiliki keluarga atau terbuang dari keluarga. Mereka menggantungkan kehidupan di tengah kerasnya kehidupan jalanan. Padahal harusnya mereka dibina dan dididik di tengah kelembutan serta kehangatan keluarga. Mereka mungkin saja korban dari kehancuran keluarga, dan tidak bisa dibayangkan peradaban yang akan diciptakan dari kehidupan jalanan ini.
      Peradaban yang kuat akan lahir dari keluarga yang kuat. Maka menikahlah untuk membentuk keluarga yang kuat. Dengan demikian kita sudah berkontribusi menciptakan lahirnya peradaban yang kuat serta bermartabat.

      ||*_w0ngjawa_*||

      Tujuan Pernikahan Dalam Islam



      Oleh
      Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


      1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
      Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

      2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
      Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

      Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

      يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

      “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]

      3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
      Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:

      الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

      “Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]

      Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:

      فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

      “Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

      Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.

      a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam
      Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.

      Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat taqwanya.

      Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

      يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

      Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat : 13]

      Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

      تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

      “Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.” [2]

      Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.

      Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.

      Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

      الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

      “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)...” [An-Nuur : 26]

      b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
      Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih.

      Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:

      فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

      “...Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)...” [An-Nisaa' : 34]

      Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]

      Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

      اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.

      “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]

      Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

      خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ.

      “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]

      Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

      أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.

      “Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]

      Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :

      1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
      2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
      3. Menjaga shalat yang lima waktu,
      4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
      5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [7]
      6. Berakhlak mulia,
      7. Selalu menjaga lisannya,
      8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
      9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
      10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
      11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.

      Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.

      Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.

      4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
      Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah).

      Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

      ...وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.

      “... Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” [8]

      5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
      Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

      وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

      “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]

      Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

      Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

      وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

      “...Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187]

      Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak.[9]

      Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.

      Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan agama Islam.

      Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam

      [Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]